Basis
Teori Etika
1. Etika
Teleologi
dari kata Yunani, telos = tujuan, Mengukur baik buruknya suatu tindakan
berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan
akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu.
Dua aliran etika teleologi :
– Egoisme Etis
– Utilitarianisme
Egoisme
Etis
Inti pandangan egoisme adalah bahwa tindakan dari setiap orang pada
dasarnya bertujuan untuk mengejar pribadi dan memajukan dirinya
sendiri.Satu-satunya tujuan tindakan moral setiap orang adalah mengejar kepentingan
pribadi dan memajukan dirinya. Egoisme ini baru menjadi persoalan serius ketika
ia cenderung menjadihedonistis, yaitu ketika kebahagiaan dan kepentingan
pribadi diterjemahkan semata-mata sebagai kenikmatan fisik yg bersifat vulgar.
Contoh : seorang manager perusahaan ingin melakukan pengembangan system
terhadap perusahaannya namun sang manager tidak mau mendengarkan pendapat
karyawan-karyawan yang memberikan informasi penting untuk mengembangkan system
perusahaan tersebut, manager tersebut hanya ingin melakukan sesuatu tanpa
memikirkan pendapat bawahannya sehingga system yang dikembangkan oleh sang
manajer menjadi kurang maksimal atau mungkin bahkan berdampak buruk terhadap
perusahaan.
Utilitarianisme
berasal dari bahasa latin utilis yang berarti “bermanfaat”. Menurut teori ini
suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus
menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan.
Dalam rangka pemikiran utilitarianisme, kriteria untuk menentukan baik buruknya
suatu perbuatan adalah “the greatest happiness of the greatest number”,
kebahagiaan terbesar dari jumlah orang yang terbesar.
Contoh : seorang pemimpin daerah yang ingin memajukan daerahnya menjadi daerah
wisata. Pemimpin daaerah tersebut meminta pendapat kepada masyarakatnya dan
mengajak masyarakat untuk bekerja sama dalam memajukan daerahnya. Keputusan
atau perbuatan tersebut dapat membawa manfaat bagi masyarakat ataupun daerah
itu sendiri yaitu menjadikan daerah itu banyak dikunjungi oleh wisatawan dan
dapat juga menaikan pendapatan perdaerahnya.
2.
Deontologi
Istilah deontologi berasal dari kata Yunani ‘deon’ yang berarti
kewajiban.‘Mengapa perbuatan ini baik dan perbuatan itu harus ditolak sebagai
buruk’, deontologi menjawab:‘karena perbuatan pertama menjadi kewajiban kita
dan karena perbuatan kedua dilarang’. Yang menjadi dasar baik buruknya
perbuatan adalah kewajiban. Pendekatan deontologi sudah diterima dalam konteks
agama, sekarang merupakan juga salah satu teori etika yang terpenting.
3. Teori
Hak
Dalam pemikiran moral dewasa ini barangkali teori hak ini adalah pendekatan
yang paling banyak dipakai untuk mengevaluasi baik buruknya suatu perbuatan
atau perilaku. Teori Hak merupakan suatu aspek dari teori deontologi, karena
berkaitan dengan kewajiban. Hak dan kewajiban bagaikan dua sisi uang logam yang
sama. Hak didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama.
Karena itu hak sangat cocok dengan suasana pemikiran demokratis.
.
4. Teori Keutamaan (Virtue)
memandang sikap atau akhlak seseorang. Tidak ditanyakan apakah suatu perbuatan
tertentu adil, atau jujur, atau murah hati dan sebagainya. Keutamaan bisa
didefinisikan sebagai berikut : disposisi watak yang telah diperoleh seseorang
dan memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara moral.
Contoh keutamaan :
a. Kebijaksanaan
b. Keadilan
c. Suka bekerja keras
d. Hidup yang baik
EGOISME
Egoisme merupakan motivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang
hanya menguntungkan diri sendiri. Egoisme berarti menempatkan diri di tengah
satu tujuan serta tidak peduli dengan penderitaan orang lain, termasuk yang
dicintainya atau yang dianggap sebagai teman dekat. Istilah lainnya adalah
“egois”. Lawan dari egoisme adalah
Egoisme adalah cara untuk mempertahankan dan
meningkatkan pandangan yang menguntungkan bagi dirinya sendiri, dan umumnya
memiliki pendapat untuk meningkatkan citra pribadi seseorang dan pentingnya –
intelektual, fisik, sosial dan lainnya. Egoisme ini tidak memandang kepedulian
terhadap orang lain maupun orang banyak pada umunya dan hanya memikirkan diri
sendiri
Egois ini memiliki rasa yang luar biasa dari sentralitas dari ‘Aku adalah’:.
Kualitas pribadi mereka Egotisme berarti menempatkan diri pada inti dunia
seseorang tanpa kepedulian terhadap orang lain, termasuk yang dicintai atau
dianggap sebagai “dekat,” dalam lain hal kecuali yang ditetapkan oleh egois
itu.
Teori eogisme atau egotisme diungkapkan oleh
Friedrich Wilhelm Nietche yang merupakan pengkritik keras utilitarianisme dan
juga kuat menentang teori Kemoralan Sosial. Teori egoisme berprinsip bahwa
setiap orang harus bersifat keakuan, yaitu melakukan sesuatu yang bertujuan
memberikan manfaat kepada diri sendiri. Selain itu, setiap perbuatan yang
memberikan keuntungan merupakan perbuatan yang baik dan satu perbuatan yang
buruk jika merugikan diri sendiri.
Kata “egoisme” merupakan istilah yang berasal dari bahasa latin yakni ego, yang
berasal dari kata Yunani kuno – yang masih digunakan dalam bahasa Yunani modern
– ego (εγώ) yang berarti “diri” atau “Saya”, dan-isme, digunakan untuk
menunjukkan sistem kepercayaannya. Dengan demikian, istilah ini secara
etimologis berhubungan sangat erat dengan egoisme filosofis.
Prinsip-prinsip
Etika Profesi
Tuntutan profesional sangat erat hubungannya
dengan suatu kode etik untuk masing-masing profesi. Kode etik itu berkaitan
dengan prinsip etika tertentu yang berlaku untuk suatu profesi. Di sini akan
dikemukakan empat prinsip etika profesi yang paling kurang berlaku untuk semua
profesi pada umumnya. Tentu saja prinsip-prinsip ini sangat minimal sifatnya,
karena prinsip-prinsip etika pada umumnya yang paling berlaku bagi semua orang,
juga berlaku bagi kaum profesional sejauh mereka adalah manusia.
1. Pertama, prinsip tanggung jawab.
Tanggung jawab adalah satu prinsip pokok bagi
kaum profesional, orang yang profesional sudah dengan sendirinya berarti orang
yang bertanggung jawab. Pertama, bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
pekerjaannya dan terhadap hasilnya. Maksudnya, orang yang profesional tidak
hanya diharapkan melainkan juga dari dalam dirinya sendiri menuntut dirinya
untuk bekerja sebaik mungkin dengan standar di atas rata-rata, dengan hasil
yang maksimum dan dengan moto yang terbaik. Ia bertanggung jawab menjalankan
pekerjaannya sebaik mungkin dan dengan hasil yang memuaskan dengan kata lain.
Ia sendiri dapat mempertanggungjawabkan tugas pekerjaannya itu berdasarkan
tuntutan profesionalitasnya baik terhadap orang lain yang terkait langsung
dengan profesinya maupun yang terhadap dirinya sendiri. Kedua, ia juga
bertanggung jawab atas dampak profesinya itu terhadap kehidupan dan kepentingan
orang lain khususnya kepentingan orang-orang yang dilayaninya. Pada tingkat
dimana profesinya itu membawa kerugian tertentu secara disengaja atau tidak
disengaja, ia harus bertanggung jawab atas hal tersebut, bentuknya bisa
macam-macam. Mengganti kerugian, pengakuan jujur dan tulus secara moral sebagai
telah melakukan kesalahan: mundur dari jabatannya dan sebagainya.
2. Prinsip kedua adalah prinsip keadilan.
Prinsip
ini terutama menuntut orang yang profesional agar dalam menjalankan profesinya
ia tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tertentu, khususnya orang-orang
yang dilayaninya dalam rangka profesinya demikian pula. Prinsip ini menuntut
agar dalam menjalankan profesinya orang yang profesional tidak boleh melakukan
diskriminasi terhadap siapapun termasuk orang yang mungkin tidak membayar jasa
profesionalnya .prinsip “siapa yang datang pertama mendapat pelayanan pertama”
merupakan perwujudan sangat konkret prinsip keadilan dalam arti yang
seluas-luasnya .jadi, orang yang profesional tidak boleh membeda-bedakan
pelayanannya dan juga kadar dan mutu pelayanannya itu jangan sampai terjadi
bahwa mutu dan itensitas pelayanannya profesional dikurangi kepada orang yang
miskin hanya karena orang miskin itu tidak membayar secara memadai. Hal ini
dapat kita lihat dari beberapa kasus yang sering terjadi di sebuah rumah sakit,
yang mana rumah sakit tersebut seringkali memprioritaskan pelayanan kepada
orang yang dianggap mampu untuk membayar seluruh biaya pengobatan, tetapi
mereka melakukan hal sebaliknya kepada orang miskin yang kurang mampu dalam
membayar biaya pengobatan. Penyimpangan seperti ini sangat tidak sesuai dengan
etika profesi, profesional dan profesionalisme, karena keprofesionalan
ditujukan untuk kepentingan orang banyak (melayani masyarakat) tanpa membedakan
status atau tingkat kekayaan orang tersebut.
3. Prinsip ketiga adalah prinsip otonomi.
Ini
lebih merupakan prinsip yang dituntut oleh kalangan profesional terhadap dunia
luar agar mereka diberi kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan profesinya.
Sebenarnya ini merupakan kensekuensi dari hakikat profesi itu sendiri. Karena,
hanya kaum profesional ahli dan terampil dalam bidang profesinya, tidak boleh
ada pihak luar yang ikut campur tangan dalam pelaksanaan profesi tersebut. ini
terutama ditujukan kepada pihak pemerintah. Yaitu, bahwa pemerintah harus
menghargai otonomi profesi yang bersangkutan dan karena itu tidak boleh
mencampuri urusan pelaksanaan profesi tersebut. Otonomi ini juga penting agar
kaum profesional itu bisa secara bebas mengembangkan profesinya, bisa melakukan
inovasi, dan kreasi tertentu yang kiranya berguna bagi perkembangan profesi itu
dan kepentingan masyarakat luas. Namun begitu tetap saja seorang profesional
harus diberikan rambu-rambu / peraturan yang dibuat oleh pemerintah untuk
membatasi / meminimalisir adanya pelanggaran yang dilakukan terhadap etika
profesi, dan tentu saja peraturan tersebut ditegakkan oleh pemerintah tanpa campur
tangan langsung terhadap profesi yang dikerjakan oleh profesional tersebut.
Hanya saja otonomi ini punya batas-batasnya juga. Pertama, prinsip otonomi
dibatasi oleh tanggung jawab dan komitmen profesional (keahlian dan moral) atas
kemajuan profesi tersebut serta (dampaknya pada) kepentingan masyarakat. Jadi,
otonomi ini hanya berlaku sejauh disertai dengan tanggung jawab profesional.
Secara khusus, dibatasi oleh tanggung jawab bahwa orang yang profesional itu,
dalam menjalankan profesinya secara otonom, tidak sampai akan merugikan hak dan
kewajiban pihak lain. Kedua, otonomi juga dibatasi dalam pengertian bahwa
kendati pemerintah di tempat pertama menghargai otonom kaum profesional,
pemerintah tetap menjaga, dan pada waktunya malah ikut campur tangan, agar
pelaksanaan profesi tertentu tidak sampai merugikan kepentingan umum. Jadi,
otonomi itu hanya berlaku sejauh tidak sampai merugikan kepentingan bersama.
Dengan kata lain, kaum profesional memang otonom dan bebas dalam menjalankan
tugas profesinya asalkan tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tetentu,
termasuk kepentingan umum. Sebaliknya, kalau hak dan kepentingan pihak tertentu
dilanggar, maka otonomi profesi tidak lagi berlaku dan karena itu pemerintah
wajib ikut campur tangan dengan menindak pihak yang merugikan pihak lain tadi.
Jadi campur tangan pemerintah disini hanya sebatas pembuatan dan penegakan
etika profesi saja agar tidak merugikan kepentingan umum dan tanpa mencampuri
profesi itu sendiri. Adapun kesimpangsiuran dalam hal campur tangan pemerintah
ini adalah dapat dimisalkan adanya oknum salah seorang pegawai departemen agama
pada profesi penghulu, yang misalnya saja untuk menikahkan sepasang pengantin
dia meminta bayaran jauh lebih besar daripada peraturan yang telah ditetapkan
oleh Pemerintah.
4. Prinsip integritas moral.
Berdasarkan hakikat dan ciri-ciri profesi di
atas terlihat jelas bahwa orang yang profesional adalah juga orang yang punya
integritas pribadi atau moral yang tinggi. Karena, ia mempunyai komitmen
pribadi untuk menjaga keluhuran profesinya, nama baiknya dan juga kepentingan
orang lain dan masyarakat. Dengan demikian, sebenarnya prinsip ini merupakan
tuntutan kaum profesional atas dirinya sendiri bahwa dalam menjalankan tugas
profesinya ia tidak akan sampai merusak nama baiknya serta citra dan martabat
profesinya. Maka, ia sendiri akan menuntut dirinya sendiri untuk bertanggung
jawab atas profesinya serta tidak melecehkan nilai yang dijunjung tinggi dan
diperjuangkan profesinya. Karena itu, pertama, ia tidak akan mudah kalah dan
menyerah pada godaan atau bujukan apa pun untuk lari atau melakukan tindakan
yang melanggar niali uang dijunjung tinggi profesinya. Seorang hakim yang punya
integritas moral yang tinggi menuntut dirinya untuk tidak mudah kalah dan
menyerah atas bujukan apa pun untuk memutuskan perkara yang bertentangan dengan
prinsip keadilan sebagai nilai tertinggi yang diperjuangkan profesinya. Ia
tidak akan mudah menyerah terhadap bujukan uang, bahkan terhadap ancaman teror,
fitnah, kekuasaan dan semacamnya demi mempertahankan dan menegakkan keadilan.
Kendati, ia malah sebaliknya malu kalau bertindak tidak sesuai dengan
niali-nilai moral, khususnya nilai yang melekat pada dan diperjuangkan
profesinya. Sikap malu ini terutama diperlihatkan dengan mundur dari jabatan atau
profesinya. Bahkan, ia rela mati hanya demi memepertahankan kebenaran nilai
yang dijunjungnya itu. Dengan kata lain, prinsip integritas moral menunjukan
bahwa orang tersebut punya pendirian yang teguh, khususnya dalam memperjuangjan
nilai yang dianut profesinya. Biasanya hal ini (keteguhan pendirian) tidak bisa
didapat secara langsung oleh pelaku profesi (profesional), misalnya saja
seorang yang baru lulus dari fakultas kedokteran tidak akan langsung dapat
menjalankan seluruh profesi kedokterannya tersebut, melainkan dengan pengalaman
(jam terbang) dokter tersebut dalam melayani masyarakat.
LINGKUNGAN BISNIS YANG
MEMPENGARUHI ETIKA BISNIS
Etika bisnis merupakan suatu
rangkaian prinsip/aturan/norma yang harus diikuti apabila menjalankan
bisnis. Etika sebagai norma dalam suatu kelompok bisnis akan dapat menjadi
pengingat anggota bisnis satu dengan lainnya mengenai suatu tindakan yang
terpuji (good conduct) yang selalu harus dipatuhi dan dilaksanakan. Etika
didalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam
lingkungan bisnis yang terkait tersebut.
Etika bisnis terkait dengan masalah
penilaian terhadap kegiatan dan perilaku bisnis yang mengacu pada kebenaran
atau kejujuran berusaha (bisnis). Kebenaran disini yang dimaksud adalah etika
standar yang secara umum dapat diterima dan diakui prinsip-prinsipnya baik oleh
masyarakat, perusahaan dan individu. Perusahaan meyakini prinsip bisnis yang
baik adalah bisnis yang beretika, yakni bisnis dengan kinerja unggul dan
berkesinambungan yang dijalankan dengan mentaati kaidah-kaidah etika sejalan
dengan hukum dan peraturan yang berlaku.
untuk terciptanya etika didalam
bisnis yang sesuai dengan budi pekerti luhur, ada beberapa yang perlu
diperhatikan, antara lain :
- Pengendalian diri
- Pengembangan tenggung jawab sosial
- Mempertahankan jati diri
- Menciptakan persaingan yang sehat
- Menerapkan konsep pembangunan yang berkelanjutan.
Adapun hal-hal yang perlu dihindari
agar terciptanya etika didalam bisnis yang baik yaitu menghindari sikap 5K
- Katabelece
- Kongkalikong
- Koneksi
- Kolusi, dan
- Komisi
KESALING TERGANTUNGAN ANTARA BISNIS
DAN MASYARAKAT
Perusahaan yang merupakan suatu
lingkungan bisnis juga sebuah organisasi yang memiliki struktur yag cukup jelas
dalam pengelolaannya. ada banyak interaksi antar pribadi maupun institusi yang
terlibat di dalamnya. Dengan begitu kecenderungan untuk terjadinya konflik dan
terbukanya penyelewengan sangat mungkin terjadi. baik di dalam tataran
manajemen ataupun personal dalam setiap tim maupun hubungan perusahaan dengan
lingkungan sekitar. untuk itu etika ternyata diperlukan sebagai kontrol akan
kebijakan, demi kepentingan perusahaan itu sendiri. Oleh karena itu kewajiban
perusahaan adalah mengejar berbagai sasaran jangka panjang yang baik bagi
masyarakat.
Berikut adalah beberapa hubungan
kesaling tergantungan antara bisnis dengan masyarakat.
- Hubungan antara bisnis dengan langganan / konsumen
Hubungan antara bisnis dengan
langgananya adalah hubungan yang paling banyak dilakukan, oleh karena itu
bisnis haruslah menjaga etika pergaulanya secara baik. Adapun pergaulannya
dengan langganan ini dapat disebut disini misalnya saja :
Kemasan yang berbeda-beda membuat
konsumen sulit untuk membedakan atau mengadakan perbandingan harga terhadap
produknya.
Bungkus atau kemasan membuat
konsumen tidak dapat mengetahui isi didalamnya,
Pemberian servis dan terutama
garansi adalah merupakan tindakan yang sangat etis bagi suatu bisnis.
Manajer yang pada umumnya selalu
berpandangan untuk memajukan bisnisnya sering kali harus berurusan dengan etika
pergaulan dengan karyawannya. Pergaulan bisnis dengan karyawan ini meliputi
beberapa hal yakni : Penarikan (recruitment), Latihan (training), Promosi atau
kenaikan pangkat, Tranfer, demosi (penurunan pangkat) maupun lay-off atau
pemecatan / PHK (pemutusan hubungan kerja).
Hubungan ini merupakan hubungan
antara perusahaan yang satu dengan perusahan yang lain. Hal ini bisa terjadi
hubungan antara perusahaan dengan para pesaing, grosir, pengecer, agen tunggal
maupun distributor.
Perusahaan yang berbentuk Perseroan
Terbatas dan terutama yang akan atau telah “go publik” harus menjaga pemberian
informasi yang baik dan jujur dari bisnisnya kepada para insvestor atau calon
investornya. prospek perusahan yang go public tersebut. Jangan sampai
terjadi adanya manipulasi atau penipuan terhadap informasi terhadap hal ini.
- Hubungan dengan Lembaga-Lembaga Keuangan
Hubungan dengan lembaga-lembaga
keuangan terutama pajak pada umumnya merupakan hubungan pergaulan yang bersifat
finansial.
KEPEDULIAN PELAKU BISNIS TERHADAP
ETIKA
Etika bisnis dalam suatu perusahaan
mempunyai peranan yang sangat penting, yaitu untuk membentuk suatu bisnis yang
kokoh dan kuat dan mempunyai daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan
untuk menciptakan nilai yang tinggi. Perilaku etis dalam kegiatan berbisnis
adalah sesuatu yang penting demi kelangsungan hidup bisnis itu sendiri. Bisnis
yang tidak etis akan merugikan bisnis itu sendiri terutama jika dilihat dari
perspektif jangka panjang. Bisnis yang baik bukan saja bisnis yang
menguntungkan, tetapi bisnis yang baik adalah selain bisnis tersebut
menguntungkan juga bisnis yang baik secara moral.
Tolak ukur dalam etika bisnis adalah
standar moral. Seorang pengusaha yang beretika selalu mempertimbangkan standar
moral dalam mengambil keputusan, apakah keputusan ini dinilai baik atau buruk
oleh masyarakat, apakah keputusan ini berdampak baik atau buruk bagi orang lain,
atau apakah keputusan ini melanggar hukum.
Dalam menciptakan etika bisnis perlu
diperhatikan beberapa hal, antara lain pengendalian diri dan tidak
mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan
teknologi, pengembangan tanggung jawab sosial, mempertahankan jati diri,
menciptakan persaingan yang sehat, menerapkan konsep pembangunan yang
berkelanjutan, mampu menyatakan hal yang benar, Menumbuhkan sikap saling
percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha kebawah, Konsekuen
dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama dan lain
sebagainya.
PERKEMBANGAN DALAM ETIKA BISNIS
Kegiatan perdagangan atau bisnis
tidak pernah luput dari sorotan etika. Perhatian etika untuk bisnis dapat
dikatakan seumur dengan bisnis itu sendiri. Perbuatan menipu dalam bisnis ,
mengurangi timbangan atau takaran, berbohong merupakan contoh-contoh kongkrit
adanya hubungan antara etika dan bisnis.
ETIKA BISNIS DALAM AKUNTANSI
Kegiatan perdagangan atau bisnis
tidak pernah luput dari sorotan etika. Perhatian etika untuk bisnis dapat
dikatakan seumur dengan bisnis itu sendiri. Perbuatan menipu dalam bisnis ,
mengurangi timbangan atau takaran, berbohong merupakan contoh-contoh kongkrit
adanya hubungan antara etika dan bisnis.
ETIKA BISNIS DAN AKUNTAN
Amerika Serikat yang selama ini
dianggap sebagai Negara super power dan juga kiblat ilmu pengetahuan termasuk
displin ilmu akuntansi harus menelan kepahitan. Skandal bisnis yang terjadi
seakan menghilangkan kepercayaan oleh para pelaku bisnis dunia tentang praktik
Good Corporate Governance di Amerika Serikat. Banyak perusahaan yang
melakukan kecurangan diantaranya adalah TYCO yang diketahui melakukan
manipulasi data keuangan (tidak mencantumkan penurunan aset), disamping
melakukan penyelundupan pajak. Global Crossing termasuk salah satu perusahaan
terbesar telekomunikasi di Amerika Serikat dinyatakan bangkrut setelah
melakukan sejumlah investasi penuh resiko. Enron yang hancur berkeping terdapat
beberapa skandal bisnis yang menimpa perusahaan-perusahaan besar di Amerika
Serikat. Worldcom juga merupakan salah satu perusahaan telekomunikasi terbesar
di Amerika Serikat melakukan manipulasi keuangan dengan menutupi pengeluaran
US$3.8 milyar untuk mengesankan pihaknya menuai keuntungan, padahal
kenyataannya rugi. Xerox Corp. diketahui memanipulasi laporan keuangan dengan
menerapkan standar akunting secara keliru sehingga pembukuan perusahaan
mencatat laba US $ 1.4 milyar selama 5 tahun. Dan masih banyak lagi
Perkembangan Dalam
Etika Bisnis
Sepanjang sejarah, kegiatan
perdagangan atau bisnis tidak pernah luput dari sorotan etika. Perhatian etika
untuk bisnis seumur dengan bisnis itu sendiri. Sejak manusia terjun dalam
perniagaan, disadari juga bahwa kegiatan ini tidak terlepas dari masalah etis.
Aktivitas perniagaan selalu sudah berurusan dengan etika, artinya selalu harus
mempertimbangkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Memang
benar, sejak ditemukannya bisnis, etika sudah mendampingi kegiatan manusiawi
ini.
Namun demikian, jika kita menyimak
etika bisnis sebagaimana dipahami dan dipraktekkan sekarang, tidak bisa
disangkal juga, disini kita menghadapi suatu fenomena baru. Belum pernah dalam
sejarah, etika bisnis mendapat perhatian begitu besar dan intensif seperti
sekarang ini. Etika selalu sudah dikaitkan dengan bisnis. Sejak ada bisnis,
sejak saat itu pula bisnis dihubungkan dengan etika, sebagaimana etika selalu
dikaitkan juga dengan wilayah-wilayah lain dalam kehidupan manusia deperti
politik keluarga, seksualitas, berbagai profesi, dan sebagainya. Jadi, etika
dalam bisnis belum merupakan suatu bidang khusus yang memiliki corak dan
identitas tersendiri. Hal itu baru tercapai dengan timbulnya “etika bisnis”
dalam arti yang sesungguhnya. Etika dalam bisnis mempunyai riwayat yang sudah
panjang sekali, sedangkan umur etika bisnis masih muda sekali. Kita baru bisa
berbicara tentang etika bisnis dalam arti spesifik setelah menjadi suatu bidang
(field) tersendiri, maksudnya suatu bidang intelektual dan akademis dalam
konteks pengajaran dan penelitian di peruguran tinggi. Etika bisnis dalam arti
khusus ini untuk pertama kali timbul di Amerika Serikat dalam tahun 1970-an dan
agak cepat meluas ke kawasan dunia lainnya. Dengan memanfaatkan dan memperluas
pemikiran De George ini kita dapat membedakan lima periode dalam perkembangan
etika dalam bisnis menjadi etika bisnis.
- Situasi Dahulu
Pada awal sejarah filsafat, Plato,
Aristoteles, dan filsuf-filsuf Yunani lain menyelidiki bagaimana sebaiknya mengatur
kehidupan manusia bersama dalam negara dan membahas bagaimana kehidupan ekonomi
dan kegiatan niaga harus diatur. Dalam filsafat dan teologi Abad pertengahan
pembahasan ini dilanjutkan, dalam kalangan Kristen maupun Islam, Topik-topik
moral sekitar ekonomi dan perniagaan tidak luput pula dari perhatian filsafat
(dan teologi) di zaman modern. Dengan membatasi diri pada situasi di Amerika
Serikat selama paro pertama abad ke-20, De George melukiskan bagaimana di
perguruan tinggi masalah moral di sekitar ekonomi dan bisnis terutama disoroti
dalam teologi.
Pada waktu itu banyak universitas
diberikan kuliah agama dimana masiswamempelajari masalah – masalah moral
sekitar ekonomi dan bisnis. Pembahasannyatentu berbeda, sejauh mata kuliah ini
diberikan dalam kalangan katolik atau protestan.Dengan demikian di Amerika
Serikat selama paro pertama pada abad ke-20 etikadalam
bisnis terutama dipraktekan
dalam konteks agama dan
teologi. Danpendekatanini masih berlangsung terus sampai hari ini,
di Amerika Serikat maupun ditempat lain.
- Tahun 1960-an
Dalam tahun
1960-an terjadi perkembangan
baru yang dilihat sebagaipersiapan langsung
bagi timbulnya etika bisnis dalam dekade berikutnya. Dasawarsa1960-an
ini di Amerika Serikat (dan dunia
barat pada umumnya) ditandai
olehpemberontakan terhadap kuasa dan otoritas, revolusi mahasiswa (mulai di
ibukotaPrancis bulan Mei 1968). Suasana tidak tenang ini diperkuat lagi karena
frustasi yang dirasakan secara khusus oleh kaum muda dengan keterlibatan
Amerika Serikat dalam perang Vietnam. Rasa tidak puas ini mengakibatkan
demonstrasi – demonstrasi paling besar dirasakan di Amerika serikat. Secara
khusus kaum muda menolak kolusi yang dimata mereka terjadi antara militer dan
industri. Industri dinilai terutama melayani kepentingan militer. Serentak juga
untuk pertama kali timbul kesadaran akan masalah ekologis dan terutama industri
di anggap sebagai penyebab masalah lingkungan hidup itu dengan polusi udara,
air, dan tanah serta limbah beracun dan sampah nuklir.
Dunia pendidikan menanggapi situasi
ini dengan cara berbeda – beda. Salah satu reaksi paling penting adalah memberi
perhatian khusus kepada social issues dalam kuliah
tentang manajemen. Beberapa
sekolah bisnis mulai dengan
mencamtumkan mata kuliah baru
di kurikulumnya yang biasanya
dibesi nama Business and Society. Kuliah ini diberikan
oleh Doden – Dosen manajeman dan mereka menyusun buku – buku pegangan dan
publikasi lain untuk menunjang matakuliah itu.
Pendekatan ini diadakan dari
segi manajemen , dengan
sebagaian melibatkan juga hukum
dan sosiologi, tetapi teori
etika filosofis disini belum dimanfaatkan.
- Tahun 1970-an
Etika bisnis sebagai suatu bidang
intelektual dan akademis dengan identitas sendiri mulai terbentuk di Amerika
Serikat tahun 1970-an. Jika sebelumnya etika hanya membicarakan aspek – aspek
moral dari bisnis di samping banyak pokok pembicaraan
moral lainya (etika dalam
hubungan dengan bisnis), kini
mulai berkembang etika dalam arti sebenarnya. Jika sebelumnya hanya para teolog
dan agamawan pada tahap ilmiah (teologi) membicarakan masalah – masalah moral
dari bisnis, pada tahun 1970-an para filsuf memasuki wilayah penelitian ini
dalam waktu singkat menjadi kelompok
yang paling dominan. Sebagaian
sukses usaha itu, kemudian
beberapa filsuf memberanikan
diri untuk terjun kedalam
etika bisnis sebagai sebuah cabang etika terapan lainnya. Faktor
kedua yang memicu timbulnya etika bisnis sebagai suatu bidang study yang serius
adalah krisis moral yang dialami dunia bisnis Amerika pada awal tahun.
1970-an krisis moral dalam dunia
bisnis itu diperkuat lagi oleh krisis moral lebih umum yang melanda seluruh
masyarakat Amerika pada waktu itu. Melatarbelakangi krisis moral yang umum itu
, dunia bisnis amerika tertimpa oleh kerisis moral yang khusus . Sebagaian
sebagai reaksi atas terjadinya peristiwa – peristiwa tidak etis ini pada awal
tahun 1970-an dalam kalangan pendidikan Amerika didasarkan kebutuhan akan
refleksi etika di bidang bisnis. Salah satu usaha khusus adalah menjadikan
etika bisnis sebagai mata kuliah dalam kurikulum ini ternyata berdampak luas.
Dengan demikian dipilihnya etika bisnis sebagai mata kuliah dalam kurikulum
sekolah bisnis banyak menyumbang kapada perkembangannya ke arah bidang ilmiah
yang memiliki identitas sendiri.
Terdapat dua faktor yang mendorong
kelahiran etika bisnis pada tahun 1970-an yaitu:
- Sejumlah filsuf mulai terlibat dalam memikirkan
masalah-masalah etis di sekitar bisnis dan etika bisnis dianggap sebagai
suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang sedang meliputi dunia bisnis.
- Terjadinya krisis moral yang dialami oleh dunia bisnis.
Pada saat ini mereka bekerja sama khususnya dengan ahli ekonomi dan
manejemen dalam meneruskan tendensi etika terapan. Norman E. Bowie
menyebutkan bahwa kelahiran etika bisnis ini disebabkan adanya kerjasama
interdisipliner, yaitu pada konferesi perdana tentang etika bisnis yang
diselanggarakan di universitas Kansas oleh philosophi Departemen bersama
colledge of business pada bulan November 1974.
- Tahun 1980-an
Di Eropa Barat etika bisnis sebagai
ilmu baru mulai berkembang kira – kira sepuluh tahun kemudian , mula – mula di
inggris yang secara geografis maupun kultural paling dekat dengan Amerika
Serikat, tetapi tidak lama kemudian juga negara– negara Eropa Barat lainnya.
Semakin banyak fakultas ekonomi atau sekolah bisnisdi Eropa mencantumkan mata
kuliah etika bisnis dalam kurikulumnya, sebagai mata kuliah pilihan ataupun
wajib di tempuh. Sepuluh tahun kemudian sudah terdapat dua belas profesor etika
bisnis pertama di universitas – Universitas Eropa. Pada tahun 1987 didirikan
European Business Ethich Network (EBEN) yang bertujuan menjadi
forum pertemuan antara
akademisi dari universitas
serta seklah bisnis , para
pengusaha dan wakil –wakil organisasi nasional dan internasional seperti
misalnya serikat buruh). Konferensi
EBEN yang pertama berlangsung
di Brussel (1987). Konferensi kedua di Barcelona (1989)
dan selanjutnya ada konferensi setiap tahun : Milano (1990), London (1991),
Paris (1992), Sanvika , Noerwegia (1993), St. GallenSwis
(1994), Breukelen , Belanda
(1995), Frankfurt (1996).
Sebagaian bahan konferensi – konferensi itu telah diterbitkan dalam
bentuk buku.
- Tahun 1990-an
Dalam dekade 1990-an sudah menjadi
jelas, etika bisnis tidak terbatas lagi pada dunia barat. Kini etika bisnis
dipelajari, diajarkan dan dikembangkan di seluruh dunia, kita mendengar tentang
kehadiran etika bisnis amerika latin, eropa timur, apalagi sejak runtuhnya
komunisme disana sebagai sistem politik dan ekonomi. Tidak mengherankan bila
etika bisnis mendapat perhatian khusus di negara yang memiliki ekonomi yang
paling kuat di luar dunia barat. Tanda bukti terakhir bagi sifat global etika
bisnis adalah telah didirikannya international society for business
management economis and ethics (ISBEE).
Dalam menciptakan etika bisnis, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain adalah:
- Pengendalian diri
- Pengembangan tanggung jawab social (social
responsibility)
- Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk
terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi
- Menciptakan persaingan yang sehat
- Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan”
- Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong,
Koneksi, Kolusi, dan Komisi)
- Mampu menyatakan yang benar itu benar
- Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan
pengusaha kuat dan golongan pengusaha ke bawah
- Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah
disepakati bersama
- Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap
apa yang telah disepakati
- Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan
dalam suatu hokum positif yang berupa peraturan perundang-undangan